Mengertikah saudara arti kata-kata manaqib? Kata-kata manaqib itu
adalah bentuk jamak dari mufrod manqobah, yang di antara artinya adalah
cerita kebaikan amal dan akhlak perangai terpuji seseorang.
Jadi membaca manaqib, artinya membaca cerita kebaikan amal dan
akhlak terpujinya seseorang. Oleh sebab itu kata-kata manaqib hanya
khusus bagi orang-orang baik mulia: manaqib Umar bin Khottob, manaqib
Ali bin Abi Tholib, manaqib Syeikh Abdul Qodir al-Jilani, manaqib Sunan
Bonang dan lain sebagainya. Tidak boleh dan tidak benar kalau ada orang
berkata manaqib Abu Jahal, manaqib DN. Aidit dan lain sebagainya. Kalau
demikian artinya pada manaqib, apakah saudara masih tetap menanyakan
hukumnya manaqib?
Betul tetapi cerita di dalam manaqib Syeikh Abdul Qodir al-Jilani
itu terlalu berlebih-lebihan, sehingga tidak masuk akal. Misalkan
umpamanya kantong berisi dinar diperas lalu keluar menjadi darah,
tulang-tulang ayam yang berserakan, diperintah berdiri lalu bisa berdiri
menjadi ayam jantan.
Kalau saudara melanjutkan cerita-cerita yang tidak masuk akal,
sebaiknya jangan hanya berhenti sampai ceritanya Syeikh Abdul Qodir
al-Jilani saja, tetapi teruskanlah. Misanya cerita tentang sahabat Umar
bn Khottob berkirim surat kepada sungai Nil, Sahabat umar bin Khottob
memberi komando dari Madinah kepada prajurut-prajurit yang sedang
bertempur di tempat yang jauh dari Madinah. Cerita tentang Isra’ Mi’raj,
cerita tentang tongkat menjadi ular, cerita gunung yang pecah, kemudian
keluar dari unta yang besar dan sedang bunting tua, cerita tentang nabi
Allah Isa menghidupkan orang yang sudah mati. Dan masih banyak lagi
yang semuanya itu sama sekali tidak masuk akal.
Kalau keluar dari Nabi Allah itu sudah memang mukjizat, padahal
Abdul Qodir al-Jilani itu bukan Nabi, apa bisa menimbulkan hal-hal yang
tidak masuk akal?
Baik Nabi Allah maupun Syeikh Abdul Qodir al-Jilani atau sahabat
Umar bin Khottob, kesemuanya itu masing-masing tidak bisa menimbulkan
hal-hal yang tidak masuk akal. Tetapi kalau Allah Ta’ala membisakan itu,
apakah saudara tidak dapat menghalang-halangi?
Apakah selain Nabi Allah juga mempunyai mukjizat?
Hal-hal yang menyimpang dari adat itu kalau keluar dari Nabi
Allah maka namanya mukjizat, dan kalau timbul dari wali Allah namanya
karomah.
Adakah dalil yang menunjukkan bahwa selain nabi Allah dapat dibisakan
menimbulkan hal-hal yang menyimpang dari adat atau tidak masuk akal?
Silahkan saudara membaca cerita dalam Al-Quran tentang sahabat Nabi
Allah Sulaiman yang dapat dibisakan memindah Arsy Balqis (QS An-Naml:
40)
قَالَ اللهُ تَعَالَى : قَالَ الَّذِى عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنَ الكِتَابِ
أَنَا آتِيِكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ. فَلَمَّا
رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّى لِيَبْلُوَنِى
أَأَشْكُرُ اَمْ أَكْفُرُ. وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ
وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّى غَنِيٌّ كَرِيْمٌ.
Tetapi di dalam manaqib Abdul Qodir al-Jilani ada juga kata-kata
memanggil kepada para roh yang suci atau kepada wali-wali yang sudah
mati untuk dimintai pertolongan, apakah itu tidak menjadikan musyrik?
Memanggil-manggil untuk dimintai pertolongan baik kepada wali yang sudah
mati atau kepada bapak ibu saudara yang masih hidup dengan penuh
i’tikad bahwa pribadi wali atau pribadi bapak ibu saudara itu mempunyai
kekuasaan untuk dapat memberikan pertolongan yang terlepas dari
kekuasaan Allah Ta’ala itu hukumnya syirik.
Akan tetapi kalau dengan i’tikad bahwa segala sesuatu adalah dari
Allah Ta’ala, maka itu tidak ada halangannya, apalagi sudah jelas bahwa
kita meminta pertolongan (ghouts) kepada para wali itu maksudnya adalah
minta dimohonkan kepada Allah Ta’ala.
Manakah yang lebih baik, berdoa kepada Allah Ta’ala dengan
langsung atau dengan perantaraan (tawassul)?
Langsung boleh, dengan perantaraan pun boleh. Sebab Allah Ta’ala itu
Maha Mengetahui dan Maha Mendengar. Saudara jangan mengira bahwa
tawassul kepada Allah Ta’ala melalui Nabi-Nabi atau wali itu, sama
dengan saudara memohon kenaikan pangkat kepada atasan dengan perantaraan
Kepala Kantor saudara. Pengertian tawassul yang demikian itu tidak
benar. Sebab berarti mengalihkan pandangan terhadap yang ditujukan
(pihak atasan), beralih kepada pihak perantara, sehingga disamping
mempunyai kepercayaan terhadap kekuasaan pihak atasan, saudara juga
percaya kepada kekuasaan pihak perantara. Tawassul kepada Allah Ta’ala
tidak seperti itu.
Kalau saudara ingin contoh tawassul kepada Allah Ta’ala melalui
Nabi-Nabi atau Wali-Wali itu, seperti orang yang sedang membaca al Quran
dengan memakai kacamata. Orang itu tetap memandang al Quran dan tidak
dapat dikatakan melihat kaca.
Bukankah Allah ta’ala berfirman dalam al Quran al Karim
وَقَالَ رَبُّكُمْ أُدْعُونِى أَسْتَجِبْ لَكُمْ
Panggillah aku maka akan Aku sambut kepadamu. (Al Mukmin: 60)
فَادْعُو اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيِنَ
Maka sambutlah olehmu akan Allah ta’ala dengan memurnikan kepadanya akan agama. (Al Mukmin: 24)
وَالَّذِيْنَ لاَيَدْعُونَ مَعَ اللهِ إِلَهًا أَخَرَ
Dan orang-orang yang tidak menyambut bersama Allah akan tuhan yang lain. (Al Furqon: 68)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat serupa itu.
Betul akan tetapi kesemuanya itu sama sekali tidak melarang
tawassul dengan pengertian sebagaimana yang telah saya terangkan tadi.
Coba saja perhatikan contoh di bawah ini:
Saudara mempunyai majikan yang kaya raya mempunyai perusahaan besar,
saudara sudah kenal baik dengan beliau, bahkan termasuk buruh yang dekat
dengannya. Saya ingin diterima bekerja di perusahaannya. Untuk melamar
pekerjaan itu, saudara saya ajak menghadap kepadanya bersama-sama, dan
saya berkata, “Bapak pimpinan perusahaan yang mulia. Kedatangan saya
bersama guru saya ini, ada maksud yang ingin saya sampaikan, yaitu saya
mohon diterima menjadi pekerja di perusahaan bapak. Saya ajak guru saya
menghadap bapak karena saya pandang guru saya ini adalah orang yang baik
hati dan jujur serta juga kenal baik dengan bapak”. Coba perhatikan!
kepada siapa saya memohon? Kemudian adakah gunanya saya mengajak saudara
menghadap majikan besar itu?
Ada dua orang pengemis. Yang satu sendirian, sedang yang satu
lagi dengan membawa kedua anaknya yang masih kecil-kecil. Anak yang satu
masih menyusu dan yang satu lagi baru bisa berjalan. Di antara dua
orang yang pengemis itu, mana yang lebih mendapat perhatian saudara?
Saudara tentu akan menjawab yang membawa anak yang kecil-kecil itulah
yang lebih saya perhatikan. Kalau begitu adakah gunanya pengemis itu
membawa kedua orang anaknya yang masih kecil? Kepada siapakah pengemis
itu meminta? Kepada anak yang masih kecil-kecil jugakah pengemis itu
meminta?
Semoga kiranya risalah yang kecil ini, dapat memenuhi harapan ihwanul
muslimin, terutama jamaah Nahdlatul Ulama. Semoga risalah ini
bermanfaat.
Home
Pelajaran`Syar'i
Apa sih hukum baca manaqib?
Posting Komentar