Habib
Abdurrahman adalah pribadi yang ulet dan ikhlas. Terlahir di Cimanggu,
Bogor, 98 tahun silam, ia adalah putra Habib Ahmad bin Abdul Qadir
Assegaf. Ayahandanya sudah wafat ketika ia masih kecil. Tapi, kondisi
itu tidak menjadi halangan baginya untuk giat belajar.
Pernah
mengenyam pendidikan di Jamiat Al-Khair, Jakarta, masa kecilnya sangat
memprihatinkan, sebagaimana diceritakan anaknya, Habib Ali bin
Abdurrahman. “Walid itu orang yang tidak mampu. Bahkan beliau pernah
berkata, ‘Barangkali dari seluruh anak yatim, yang termiskin adalah
saya. Waktu Lebaran, anak-anak mengenakan sandal atau sepatu, tapi saya
tidak punya sandal apalagi sepatu’. Tidurnya pun di bangku sekolah.
Tapi, kesulitan seperti itu tidak menyurutkannya untuk giat belajar.”
Ketika masih belajar di Jamiat Al-Khair, prestasinya sangat cemerlang.
Ia selalu menempati peringkat pertama. Nilainya bagus, akhlaqnya menjadi
teladan teman-temannya. Untuk menuntut ilmu kepada seorang ulama, ia
tak segan-segan melakukannya dengan bersusah payah menempuh perjalanan
puluhan kilometer.
“Walid itu kalau berburu ilmu sangat keras.
Beliau sanggup berjalan berkilo-kilometer untuk belajar ke Habib
Empang,” tutur Habib Ali. Habib Empang adalah nama beken bagi (almarhum)
Habib Abdullah bin Muchsin Alatas, seorang ulama sepuh yang sangat
masyhur di kawasan Empang, Bogor.
Selain Habib Empang,
guru-guru Habib Abdurrahman yang lain adalah Habib Alwi bin Thahir
Alhadad (mufti Johor, Malaysia), Habib Alwi bin Muhammad bin Thahir
Alhadad, Habib Ali bin Husein Alatas (Bungur, Jakarta), Habib Ali bin
Abdurrahman Alhabsyi (Kwitang, Jakarta), K.H. Mahmud (ulama besar
Betawi), dan Prof. Abdullah bin Nuh (Bogor).
Semasa menuntut
ilmu, Habib Abdurrahman sangat tekun dan rajin, meski tak terlalu
cerdas. Itulah sebabnya, ia mampu menyerap ilmu yang diajarkan
guru-gurunya. Ketekunannya yang luar biasa mengantarnya menguasai semua
bidang ilmu agama. Kemampuan berbahasa yang bagus pun mengantarnya
menjadi penulis dan orator yang andal. Ia tidak hanya sangat menguasai
bahasa Arab, tapi juga bahasa Sunda dan Jawa halus.
Habib
Abdurrahman tidak sekadar disayang oleh para gurunya, tapi lebih dari
itu, ia pun murid kebanggaan. Dialah satu-satunya murid yang sangat
menguasai tata bahasa Arab, ilmu alat yang memang seharusnya digunakan
untuk memahami kitab-kitab klasik yang lazim disebut “kitab kuning”.
Para gurunya menganjurkan murid-murid yang lain mengacu pada pemahaman
Habib Abdurrahman yang sangat tepat berdasarkan pemahaman dari segi tata
bahasa.
Setelah menginjak usia dewasa, Habib Abdurrahman
dipercaya sebagai guru di madrasahnya. Di sinilah bakat dan keinginannya
untuk mengajar semakin menyala. Ia menghabiskan waktunya untuk
mengajar. Dan hebatnya, Habib Abdurrahman ternyata tidak hanya piawai
dalam ilmu-ilmu agama, tapi bahkan juga pernah mengajar atau lebih
tepatnya melatih bidang-bidang yang lain, seperti melatih kelompok musik
(dari seruling sampai terompet), drum band, bahkan juga baris-berbaris.
Belakangan, berbekal pengalaman yang cukup panjang, ia pun mendirikan
madrasah sendiri, Madrasah Tsaqafah Islamiyyah, yang hingga sekarang
masih eksis di Bukit Duri, Jakarta. Sebagai madrasah khusus, sampai kini
Tsaqafah Islamiyyah tidak pernah merujuk kurikulum yang ditetapkan oleh
pemerintah, mereka menerapkan kurikulum sendiri. Di sini, siswa yang
cerdas dan cepat menguasai ilmu bisa loncat kelas.
Dunia
pendidikan memang tak mungkin dipisahkan dari Habib Abdurrahman, yang
hampir seluruh masa hidupnya ia baktikan untuk pendidikan. Ia memang
seorang guru sejati. Selain pengalamannya banyak, dan kreativitasnya
dalam pendidikan juga luar biasa, pergaulannya pun luas. Terutama dengan
para ulama dan kaum pendidik di Jakarta.
Dalam keluarganya
sendiri, Habib Abdurrahman dinilai oleh putra-putrinya sebagai sosok
ayah yang konsisten dan disiplin dalam mendidik anak. Ia selalu
menekankan kepada putra-putrinya untuk menguasai bebagai disiplin ilmu,
dan menuntut ilmu kepada banyak guru. Sebab, ilmu yang dimilikinya tidak
dapat diwariskan.
“Beliau konsisten dan tegas dalam mendidik
anak. Beliau juga menekankan bahwa dirinya tidak mau meningalkan harta
sebagai warisan untuk anak-anaknya. Beliau hanya mendorong anak-anaknya
agar mencintai ilmu dan mencintai dunia pendidikan. Beliau ingin kami
konsisten mengajar, karenanya beliau melarang kami melibatkan diri
dengan urusan politik maupun masalah keduniaan, seperti dagang, membuka
biro haji, dan sebaginya. Jadi, sekalipun tidak besar, ya… sedikit
banyak putra-putrinya bisa mengajar,” kata Habib Umar merendah. Habib
Umar sendiri sudah belajar berceramah sejak usia sekolah dasar.
Habib Abdurrahman mempunyai putra dan putri 22 orang, namun yang ada
hingga saat ini sembilan orang; lima putra dan tiga putri. Hebatnya,
kesembilan anak tersebut adalah ulama yang disegani dan berpengaruh di
masyarakat. Mereka adalah Habib Muhammad, memimpin pesantrennya di
kawasan Ceger; Habib Ali, memimpin Majelis Taklim Al-Affaf di wilayah
Tebet; Habib Alwi, memimpin Majelis Taklim Zaadul Muslim di Bukitduri;
Habib Umar, memimpin Pesantren dan Majelis Taklim Al-Kifahi Ats-Tsaqafi
di Bukitduri; dan Habib Abu Bakar, memimpin Pesantren Al-Busyo di
Citayam. Jumlah jamaah mereka ribuan orang. Sementara tiga putrinya pun
mempunyai jamaah tersendiri. Sub-hanallah….
Sebagai ulama sepuh
yang sangat alim, beliau sangat disegani dan berpengaruh. Juga layak
diteladani. Bukan hanya kegigihannya dalam mengajar, tapi juga
produktivitasnya dalam mengarang kitab. Kitab-kitab buah karyanya tidak
sebatas satu macam ilmu agama, melainkan juga mencakup berbagai macam
ilmu. Mulai dari tauhid, tafsir, akhlaq, fiqih, hingga sastra. Bukan
hanya dalam bahasa Arab, tapi juga dalam bahasa Melayu dan Sunda yang
ditulis dengan huruf Arab – dikenal sebagai huruf Jawi atau pegon.
Kitab karyanya, antara lain,
* Hilyatul Janan fi Hadyil Quran,
* Syafinatus Said, Misbahuz Zaman,
* Bun-yatul Umahat, dan
* Buah Delima.
Sayang, puluhan karya itu hanya dicetak dalam jumlah terbatas, dan
memang hanya digunakan untuk kepentingan para santri dan siswa Madrasah
Tsaqafah Islamiyyah.
Sang Walid Telah Berpulang
Senin
siang, 26 Maret 2007, bertepatan dengan 7 Rabi`ul-Awwal 1428 H, langit
Jakarta berwarna kelabu. Pukul 12.45 WIB, kaum muslimin Jakarta
terguncang oleh berita wafatnya Al-Allamah Al-Arif Billah Al-Habib
Abdurrahman bin Ahmad Assegaf dalam usia sekitar 100 tahun.
Baru sekitar seminggu sebelum kepulangan sang walid, Habib Abdurrahman
bin Ahmad Assegaf, pihak keluarga Habib Ali mendapat telepon dari
Hadramaut, dimana ada seorang ulama yang tinggal di Tarim, Hadhramaut,
yakni Habib Abdullah bin Muhammad bin Alwi bin Abdullah Syihabuddin
dalam sebuah majelis yang di hadiri banyak orang, ia berkata, “Saya
bermimpi Rasulullah SAW, wajahnya seperti wajah Habib Abdurrahman bin
Ahmad Assegaf. Tolong kasih tahu anak-anaknya Habib Abdurrahman bin
Ahmad Assegaf, saya sangat senang dan kasih tahu kabar gembira ini pada
orang-orang yang ke Indonesia.”
Mendengar kabar dari
Hadhramaut, pihak keluarga Habib Abdurrahman Assegaf seperti mendapat
tanda akan kepergian dari sang walid. Seluruh keluarga pun dalam waktu
singkat, berusaha untuk dikumpulkan semua. Dan apa yang telah
dikhawatirkan jauh-jauh hari itu, akhirnya tiba.
Senin siang,
26 Maret 2007, bertepatan dengan 7 Rabi`ul-Awwal 1428 H, langit Jakarta
berwarna kelabu. Pukul 12.45 WIB, kaum muslimin Jakarta terguncang oleh
berita wafatnya Al-Allamah Al-Arif Billah Al-Habib Abdurrahman bin Ahmad
Assegaf dalam usia sekitar 100 tahun.
Hari itu, berita
wafatnya ulama terkemuka yang sangat dicintai warga Jakarta tersebut
mendominasi pembicaraan melalui telepon dan SMS. Dalam waktu yang hampir
bersamaan, masjid-masjid pun mengumumkan wafatnya sang walid, seraya
membacakan surah Al-Fatihah. Kaum muslimin Jakarta benar-benar berduka
dan kehilangan, ditinggal pergi sesepuh dan panutannya.
Jenazah
ulama besar yang ilmu, akhlaq, dan istiqamahnya sangat dikagumi itu,
disemayamkan di ruang depan rumahnya, tepat di sisi sekretariat Yayasan
Madrasah Tsaqofah Islamiyyah yang terletak di Jl Perkutut no 273, Bukit
Duri Puteran, Tebet, Jakarta Selatan. Kalimat tahlil dan pembacaan
Al-Qur’an bergema sepanjang hari Senin sampai jelang pemakamannya pada
hari Selasa. Sebuah tenda besar tak mampu menampung jama’ah yang terus
berdatangan bergelombang bak air bah, mereka rela duduk dengan
beralaskan tikar atau karton bekas di sepanjang jalan menuju kediaman
almarhum.
Sejak awal, pihak keluarga telah memperkirakan para
penakziah akan terus berdatangan hingga malam hari, bahkan esok harinya.
Karena itu diputuskan, pemakaman akan dilakukan ba’da dzuhur di
Pemakaman kampung Lalongok, Kramat Empang, Bogor, tiada lain untuk
memberi kesempatan kepada semua pelayat yang ingin melepas kepergian
sang walid yang terakhir kalinya.
Karena sangat banyaknya
pelayat, mencapai puluhan ribu orang yang datang sejak berita kabar sang
walid wafat, pihak keluarga hanya mempersilahkan per lima habaib dan
jamaah untuk menatap wajah sang walid. Praktis, prosesi ini membuat
antrean panjang dan berdesak-desakan di sekitar halaman rumah dari hari
Senin siang sampai Selasa siang.
Bisa dibilang, semua habib dan
ulama terkemuka se-Jabodetabek hadir untuk bertakziah, bahkan
murid-murid sang walid dari berbagai penjuru Indonesia juga hadir. Tidak
hanya itu, tamu dari luar negeri juga ikut bertakziah, seperti dari
Malaysia, Singapura, Brunei, Maroko, Mesir, Yaman, Saudi dan lain-lain.
Para pejabat dan mantan negara juga tampak bertakziah di kediaman
almarhum, seperti pada Selasa pagi, Drs. H. Surya Darma Ali (menteri
usaha koperasi dan menengah), H. Fauzi Bowo (wagub DKI Jakarta), H.
Hamzah Haz (mantan Wapres RI) dan lain-lain.
Selasa (27/3)
Tepat pukul 10.00, jenazah dimandikan dan selepas itu pihak keluarga
melakukan pelepasan terakhir di sisi tengah rumah almarhum secara
tertutup. Baru pada pukul 11.45, jenazah sang walid dibawa ke luar untuk
dishalatkan.
Acara dibuka dengan sambutan dari pihak keluarga
almarhum, yang diwakili oleh Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf. Dengan
nada sendu, pengasuh Majelis Taklim Al-‘Afaf itu mengungkapkan terima
kasih atas pelaksanaan pemakaman almarhum. Selanjutnya, Habib Ali
mengungkapkan keutamaan-keutamaan almarhum. “Beliau rindu kepada
Rasulullah SAW. Beliau ungkapkan rasa rindu itu dalam bentuk
syariat-syariat beliau,” katanya.
Puluhan ribu pelayat yang
berdiri berdesak-desakan itu mulai sesenggukan karena terharu. Apalagi
ketika Habib Ali, yang berbicara atas nama keluarga sang walid, tampil
dengan nada suara yang sesekali bergetar menahan haru. Habib terkemuka
di Jakarta itu kemudian menceritakan tentang tanda-tanda akan kepergian
almarhum.
Habib Ali lalu melanjutkan tentang rasa kehilangan
yang mendalam atas kepergian sang walid. “Pada hari ini kita tidak
datang pada hari-hari yang lalu, datang pada beliau untuk tidak
berbicara. Kita memelihara anak yatim, tapi kali ini kita menjadi
anak-anak yatim,” kata Habib Ali. Sebagian hadirin semakin histeris,
bahkan ada yang sampai terduduk menangis.
“Kepergian sang walid
sudah diramal jauh-jauh hari, ”Umimu dulu yang bakal berpulang kepada
Allah SWT, setelah itu baru saya,” kata walid. Dan benarlah, Ibunda Hj
Barkah (istri sang walid) telah berpulang sekitar tujuh bulan yang lalu,
tepatnya pada 26 Juli 2006. Selain itu, lanjut Habib Ali, al walid juga
pernah berkata pada keluarga, ’Saya pulang pada hari Senin, kasih tahu
saudara-saudaramu’.”
Tepat pukul duabelas siang, jenazah mulai
dishalatkan dengan imam Habib Abdul Qadir bin Muhammad Al-Hadad
(Al-Hawi, Condet). Kebetulan saat pada hari itu juga, mertua dari Habib
Ali bin Abdurrahman Assegaf, yakni Syarifah Syarifah Rugayah binti Habib
Muhammad bin Ali Al-Attas juga wafat dan ikut dishalatkan dengan
bertindak sebagai imam shalat yakni Habib Syekh bin Abdurrahman Alattas.
Selepas doa oleh Habib Hamid bin Abdullah Al-Kaff, iringan-iringan
jenazah bergerak keluar dari kediaman dan sempat berhenti di masjid Jami
Al-Makmur, Bukit Duri, Tebet untuk kemudian jenazah kemudian
dishalatkan kembali dengan imam Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf dan
sekaligus shalat Dzuhur berjamaah.
Sekitar pukul 13.00
iring-iringan yang membawa jenazah mulai bergerak menuju ke Bogor
melalui Pancoran dan lewat tol menuju Empang. Ribuan kendaraan roda dua
dan roda empat tampak mengiringi mobil ambulan yang membawa jenazah,
tampak menyemut hingga 10 kilometer memadati jalan raya.
Sekitar pukul 15.30 jenazah kembali disemayamkan di Masjid An-Nur,
Kramat Empang, Bogor. Lepas itu baru jenazah diberangkatkan ke makam
kampung Lolongok yang terletak sekitar satu kilo di sebelah utara
komplek makam Kramat Empang.
Mewakili sahibul bait, Habib Hamid
bin Abdullah Assegaf memberikan taushiah, ”Sungguh kita bersama-sama
telah kehilangan seorang ulama besar. Sungguh telah padam, lampu yang
sangat besar di kota Jakarta,” katanya.
Beruntung, lanjutnya,
bagi murid-muridnya yang telah menimba ilmu pada almarhum. Ingatlah
selalu pesan almarhum, saya sering mendengar pada acara Haul, ’Kalau
saya sudah meninggal dunia, perbanyaklah mengirimkan fatihah untuk
saya.’ Maka marilah dalam pembacaan fatihah-fatihah yang biasa kita
baca, kirimkanlah untuk almarhum.
Sekitar pukul 17.00, prosesi
pemakaman sang walid yang diikuti oleh sekitar seratus ribu muhibbin itu
berakhir sudah. Sebenarnya masih banyak jamaah yang tertahan di luar
komplek makam, karena kendaraannya tak bisa masuk dan mereka rela
menunggu jauh di luar komplek makam. Jakarta kembali kehilangan seorang
ulama besar.
Home
Para Habaib
Sayyidil Walid Al Allamah Al Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf
Posting Komentar